Seorang pria muda bernama Andi jatuh cinta pada seorang wanita yang dikenalnya melalui media sosial. Wanita itu, bernama Rani, tampak sempurna dan selalu aktif berinteraksi. Namun, lambat laun, kejanggalan mulai muncul: foto yang tak pernah berubah, balasan pesan yang selalu datang di tengah malam, hingga fakta mengejutkan bahwa Rani telah meninggal dunia setahun yang lalu. Teror batin dan keanehan yang terjadi membuat Andi menghadapi kebenaran mengerikan tentang hubungan ini. Pesan moral cerita ini mengingatkan pembaca untuk tidak terlalu terikat pada dunia maya dan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan.
Jakarta Selatan, malam itu terasa lebih hangat dari biasanya. Hiruk-pikuk kota, suara kendaraan, dan lampu neon menciptakan suasana khas metropolitan yang tak pernah benar-benar tidur. Andi, seorang karyawan muda, sedang duduk di kamar kosnya, menghabiskan waktu dengan menggulir media sosial. Hidupnya biasa saja—pekerjaan rutin, teman seperlunya, dan harapan yang sering kali terasa terlalu jauh untuk diraih.
Namun, semua berubah ketika dia menerima permintaan pertemanan dari seorang wanita bernama Rani. Profilnya sederhana, dengan foto yang menampilkan senyuman manis di tepi pantai. Dari bio-nya, Rani tampak seperti wanita yang ceria dan cerdas, penuh energi positif. Andi, yang jarang merasa tertarik pada orang baru, segera terpikat.
Percakapan pertama mereka dimulai dengan ringan. Rani selalu menjawab dengan ramah, penuh perhatian, dan terasa seperti memahami Andi lebih dari siapa pun. Hubungan itu berkembang pesat, meski mereka belum pernah bertemu secara langsung. Anehnya, setiap kali Andi mengajaknya bertemu, Rani selalu punya alasan untuk menolak.
“Maaf, aku sibuk hari ini. Mungkin lain kali, ya?”
Balasan seperti itu menjadi rutinitas. Namun, rasa penasaran Andi tak surut.
Semuanya tampak berjalan baik sampai Andi mulai menyadari sesuatu yang aneh. Foto profil Rani tak pernah berubah. Setiap kali dia mengunggah sesuatu, caption-nya terdengar puitis tapi juga mengandung kesan yang kelam, seperti: “Kebahagiaan adalah ilusi yang kita kejar di tepi malam.” Selain itu, balasan Rani hampir selalu datang di tengah malam, tepat pukul 2 pagi.
Andi mulai bercerita kepada teman-temannya di kantor. “Kayaknya aneh deh, cewek ini nggak pernah upload foto baru,” katanya suatu siang.
Namun, teman-temannya hanya menertawakan kekhawatirannya. “Mungkin dia cuma malas update, Ndre. Ngapain juga lu ribet?”
Andi mencoba mengabaikan kejanggalan itu hingga suatu malam, dia memutuskan untuk menelusuri nama Rani di internet. Apa yang dia temukan membuat darahnya berhenti mengalir. Artikel berita dengan tanggal setahun lalu muncul di layar. Judulnya berbunyi: “Mahasiswi Jakarta Tewas dalam Kecelakaan Tragis di Flyover Casablanca.” Foto dalam artikel itu adalah wajah Rani, sama persis seperti yang ada di profilnya.
Andi merasa tubuhnya membeku. Dia membaca ulang artikel itu berulang kali, berharap dia salah. Namun, tidak ada keraguan lagi. Rani sudah meninggal. Tapi jika demikian, siapa yang selama ini berbicara dengannya?
Dengan jantung berdebar, Andi mencoba menghubungi nomor Rani. Tak ada nada sambung. Dia kemudian mengirim pesan singkat:
“Rani, apa ini benar? Tolong jawab.”
Seperti biasa, balasannya datang pukul 2 pagi:
“Kenapa kamu mencari sesuatu yang seharusnya tak kau tahu? Aku di sini, Andi. Aku selalu di sini.”
Malam itu, Andi tak bisa tidur. Keesokan harinya, dia memutuskan untuk mengunjungi alamat yang tertera di artikel berita. Rumah Rani ada di sebuah gang sempit di kawasan Tebet. Ketika mengetuk pintu, seorang wanita tua membuka. Itu adalah ibu Rani.
“Maaf, Bu,” Andi memulai dengan gugup. “Saya teman Rani. Saya ingin tahu, apa benar Rani…”
Wanita itu terdiam, lalu mulai menangis. “Rani meninggal setahun yang lalu, Nak. Tapi kadang… kadang aku merasa dia masih di sini. Ada banyak yang bilang mereka melihatnya.”
Saat itu, angin dingin berhembus, dan Andi merasa ada sesuatu yang mengawasinya dari dalam rumah.
Sepulang dari sana, Andi mencoba menghapus semua pesan dan kontak Rani. Namun, teror belum berakhir. Malam itu, layar ponselnya menyala sendiri. Foto Rani muncul, namun kali ini dengan tatapan kosong dan latar belakang gelap. Sebuah pesan baru muncul:
“Kamu ingin pergi, tapi aku tak akan membiarkanmu. Aku mencintaimu, Andi.”
Ketakutan mencapai puncaknya. Andi akhirnya mencari pertolongan seorang ustaz. Ustaz Harun, seorang pemuka agama yang dikenal di lingkungan Andi, mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian. “Makhluk itu adalah jin yang memanfaatkan kesedihanmu, Nak. Ia mengambil wujud Rani untuk mendekatimu. Kau harus memperkuat imanmu.”
Dengan doa dan ruqyah, gangguan itu perlahan menghilang. Andi belajar untuk tidak mudah terjebak dalam dunia maya dan menyadari pentingnya menjaga keimanan. Namun, di sudut pikirannya, dia tak bisa melupakan perasaan dingin yang dia rasakan saat membuka pintu kamarnya beberapa malam kemudian—seolah ada yang masih menunggu di sana.
Pesan Moral: Dunia maya adalah tempat yang penuh ilusi. Jangan pernah melupakan pentingnya memperkuat hubungan dengan Tuhan dan menghindari keterikatan pada sesuatu yang belum tentu nyata. Keimanan adalah perlindungan terbaik dari segala tipu daya, baik yang terlihat maupun yang tak kasat mata.
