“Sebelas penjudi di Bogor Selatan menggunakan uang tabungan, dana bantuan sosial, hingga pinjaman online untuk berjudi. Kehidupan keluarga mereka terabaikan, dan perilaku mereka menimbulkan konflik besar di masyarakat. Pada malam penuh badai, mereka benar-benar tersambar petir, meninggalkan pesan moral yang mendalam bagi warga sekitar.”
Malam itu, hujan mengguyur deras Bogor Selatan, menutup langit dengan awan gelap yang sesekali diterangi kilatan petir. Di sebuah rumah di sudut kampung, suara gaduh tawa bercampur makian terdengar hingga radius puluhan meter. Sebuah meja panjang penuh kartu remi dan uang tunai menjadi pusat perhatian. Di sekelilingnya, sebelas pria duduk dengan ekspresi yang beragam—ada yang penuh harap, ada pula yang penuh kecemasan setelah kalah bertubi-tubi.
“Cepat, taruh uangnya! Jangan lama-lama mikir,” seru Wahyu, pria bertubuh besar dengan kumis tebal, yang menjadi pemimpin permainan malam itu. Wahyu terkenal sebagai bandar judi yang licik, tapi pesonanya membuat banyak orang tetap ikut permainan meskipun sering kalah.
Di antara mereka ada Adi, seorang buruh harian yang menggunakan uang tabungan anaknya untuk bermain malam itu. Ada pula Rudi, yang baru saja mengambil dana bantuan sosial untuk keluarganya, namun malah membawanya ke meja judi. Yang paling tragis adalah Firman, pria muda yang nekat meminjam uang dari pinjaman online dengan bunga mencekik demi melunasi kekalahannya sebelumnya.
Para istri dan anak-anak mereka, yang sudah bosan memohon agar mereka berhenti berjudi, memilih pasrah. Beberapa bahkan sudah berencana meninggalkan mereka. Namun, malam itu sesuatu yang lebih besar dari sekadar kehancuran keluarga menanti.
Desas-desus tentang meja judi ini sebenarnya sudah lama tersebar. Para tetangga yang merasa terganggu sering mengeluh, tetapi takut melapor karena Wahyu dikenal punya hubungan dengan preman setempat. Namun, ada yang berbeda pada malam itu. Seorang tetua kampung, Pak Jamal, tak tahan lagi melihat dampaknya.
“Kita ini sudah diberi peringatan oleh alam. Hujan deras begini, petir menyambar di mana-mana. Ini tanda, tapi mereka malah terus berjudi!” katanya kepada istrinya. Pak Jamal adalah satu-satunya yang berani melapor kepada ketua RT dan mencoba menghentikan perjudian ini, tetapi tanggapannya selalu dingin.
Sementara itu, di meja judi, para penjudi semakin terpancing. Hujan deras di luar justru membuat mereka merasa terlindung dari gangguan siapa pun. Kilatan petir yang menyambar pohon di dekat rumah hanya dianggap sebagai hiburan tambahan.
“Lihat itu! Alam pun ikut meriah dengan permainan kita,” ledek Wahyu sambil mengocok kartu. Namun, tawa mereka tiba-tiba terhenti ketika lampu rumah berkedip-kedip. Udara di dalam ruangan mendadak terasa berat, membuat beberapa dari mereka mulai merasa tidak nyaman.
“Ini cuma mati listrik biasa, santai aja,” kata Wahyu, mencoba menenangkan suasana. Tapi suara petir yang menggema seperti mengguncang seluruh rumah, membuat mereka terdiam sejenak.
Di luar, hujan semakin deras. Kilat menyambar tak jauh dari lokasi, membuat seorang anak kecil yang sedang mengintip dari balik jendela berteriak histeris.
Tepat tengah malam, sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan terjadi. Sebuah kilat besar menyambar rumah itu dengan suara seperti ledakan. Sebelas penjudi di dalam rumah itu terlempar dari tempat duduk mereka. Beberapa tergeletak dengan tubuh terbakar. Ketika warga datang untuk menolong, mereka menemukan pemandangan yang membuat mereka bergidik.
Di dinding rumah, tertulis dengan warna hitam hangus, “INILAH HARI PENGHAKIMAN.” Tulisan itu tampak seperti hasil sambaran listrik yang aneh. Sebagian warga mulai berbisik bahwa ini bukan hanya kecelakaan alam, melainkan azab bagi para penjudi yang telah menantang moralitas dan mengabaikan keluarganya.
Ketika ambulans dan polisi tiba, hanya tiga dari sebelas orang yang masih bernyawa. Namun, mereka dalam kondisi kritis dan terus mengigaukan hal-hal aneh. Salah satu dari mereka, Adi, berulang kali berkata, “Aku melihat mereka… anjing-anjing hitam dengan mata menyala… mereka menarikku ke jurang.”
Berita tentang kejadian itu menyebar cepat. Para tetangga yang sebelumnya diam mulai berani berbicara. Mereka menceritakan bagaimana para penjudi ini merusak harmoni kampung, menggunakan uang yang seharusnya untuk keluarga demi kesenangan semu. Pak Jamal, yang merasa peringatannya tak dihiraukan, hanya bisa menggelengkan kepala.
“Allah itu Maha Adil. Apa yang mereka tanam, itulah yang mereka tuai,” katanya kepada warga yang berkumpul di masjid untuk mendoakan kampung mereka agar terbebas dari kutukan.
Pesan Moral: Cerita ini menjadi pengingat bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Keserakahan dan keegoisan tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang-orang di sekitar kita. Tidak ada kemenangan sejati dalam perjudian; yang ada hanyalah kehancuran. Bagi mereka yang membaca kisah ini, jadikanlah ini pelajaran untuk selalu menjaga integritas, menghormati keluarga, dan menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab.
Sebelas penjudi itu adalah peringatan hidup bahwa dunia ini bukan tanpa penghakiman, baik dari manusia maupun dari Sang Pencipta. Jangan pernah mengabaikan tanda-tanda, karena mungkin saja itu adalah kesempatan terakhir sebelum semuanya terlambat.