“Di sebuah apartemen di Jakarta, suara berisik dari unit yang dijadikan tempat usaha online membuat resah penghuni lainnya. Meski sudah ditegur berkali-kali, suara bising tetap berlanjut, memicu konflik antara penghuni dan pengelola apartemen yang ternyata memihak pemilik usaha tersebut. Kejadian ini mencapai klimaks saat hal-hal ganjil mulai terjadi di unit tersebut, yang akhirnya membawa pesan tentang karma dan pentingnya menghormati hak bersama.”
Cerita:
Apartemen itu berdiri megah di jantung kota Jakarta, sebuah simbol modernitas dan kenyamanan. Dengan fasilitas lengkap, mulai dari kolam renang hingga ruang kebugaran, banyak orang berbondong-bondong menyewanya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih praktis. Namun, di balik tembok-tembok elegan itu, ada satu unit yang menjadi sumber keresahan.
Unit di lantai 15 itu terlihat biasa saja dari luar, tetapi sejak sekitar enam bulan yang lalu, suasana apartemen berubah. Setiap hari, suara gesekan, teriakan, dan tawa menggelegar keluar dari unit tersebut. Penghuni apartemen menyebut suara itu sebagai “srat srot srat srot” – suara rak-rak logistik yang ditarik atau barang-barang berat yang dipindahkan. Kadang-kadang, terdengar pula suara musik keras dan nyanyian yang tak beraturan. Semua itu berlangsung hingga larut malam, membuat penghuni tidak bisa tidur dengan tenang.
Pak Hadi, salah satu penghuni senior, adalah orang pertama yang berani mengajukan keluhan kepada pengelola apartemen. “Ini apartemen, bukan gudang! Kalau mau buka usaha, sewa ruko saja!” katanya lantang kepada petugas pengelola. Namun, keluhannya diabaikan. Ternyata, pemilik unit itu, seorang wanita muda bernama Rina, adalah teman baik dari pengelola apartemen.
“Ah, cuma usaha kecil-kecilan kok, Pak Hadi. Jangan terlalu dibesar-besarkan. Lagipula, suara itu kan cuma sesekali,” ujar Rina dengan nada santai saat ditegur. Padahal, kenyataannya, suara itu hampir setiap malam mengganggu ketenangan warga.
Semakin lama, semakin banyak penghuni yang mengeluh. Mbak Sari, seorang ibu muda dengan dua anak kecil, mengaku bahwa anak-anaknya sering terbangun karena suara bising dari unit tersebut. Pak Budi, seorang pekerja malam, merasa stres karena sulit tidur di siang hari akibat suara “srat srot” yang tiada henti. Meski sudah banyak yang mencoba berbicara baik-baik, Rina tetap tidak peduli. Bahkan, ia cenderung menantang.
“Kalau nggak suka, pindah saja,” jawabnya dingin kepada salah satu penghuni yang mencoba menegur langsung.
Sikap Rina ini memancing kemarahan warga. Beberapa di antara mereka mulai melontarkan sumpah serapah. “Lihat saja, pasti bisnisnya bakal kena batunya suatu hari nanti,” ujar Pak Hadi kepada penghuni lainnya. Meskipun begitu, warga tetap mencoba bertahan sambil berharap pengelola akan mengambil tindakan tegas.
Hingga suatu malam, hal-hal aneh mulai terjadi. Malam itu, suara bising seperti biasa terdengar dari unit Rina. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Warga di lantai 14 dan 16 mulai mengeluhkan suara langkah kaki yang berat, seolah-olah ada seseorang berlari di lorong. Namun, ketika mereka mengecek, lorong itu kosong.
“Masih kerja, ya? Kok sampai jam segini masih ribut?” ujar Mbak Sari, mengirim pesan ke grup penghuni apartemen. Tapi, tidak ada yang membalas. Beberapa warga mencoba mengetuk pintu unit Rina untuk menegur langsung, tapi tidak ada jawaban. Suara dari dalam terus berlanjut.
Pak Hadi, yang penasaran, memberanikan diri mengintip dari celah pintu. Ia melihat bayangan seperti orang berjongkok, tetapi bayangan itu bergerak terlalu cepat untuk bisa dikenali. Merasa merinding, Pak Hadi memutuskan kembali ke unitnya dan mencoba tidur. Namun, malam itu ia bermimpi buruk.
Dalam mimpinya, ia melihat unit Rina dipenuhi tumpukan barang yang bergerak sendiri. Dari balik tumpukan itu, muncul sosok wanita berambut panjang dengan mata kosong, tertawa cekikikan sambil menunjuk ke arah Pak Hadi. Ketika ia terbangun, tubuhnya basah oleh keringat dingin.
Esok harinya, penghuni lain mulai membicarakan kejadian ganjil yang mereka alami. Lampu lorong yang berkedip-kedip, suara langkah kaki yang tidak wajar, hingga bau anyir yang sesekali tercium dari dekat unit Rina. Beberapa warga menduga bahwa semua ini adalah akibat dari doa-doa buruk yang dilontarkan oleh penghuni apartemen.
Akhirnya, pengelola apartemen memutuskan untuk memeriksa unit tersebut. Bersama beberapa warga, mereka mengetuk pintu unit Rina. Awalnya, tidak ada yang menjawab. Namun, saat mereka mencoba membuka pintu menggunakan kunci cadangan, suara dari dalam tiba-tiba berhenti.
Ketika pintu terbuka, unit itu kosong. Tidak ada tanda-tanda aktivitas manusia. Namun, yang membuat semua orang bergidik adalah dinding unit yang penuh dengan coretan tangan seperti bercak darah kering. Barang-barang berserakan, seolah-olah baru saja ditinggalkan terburu-buru.
Setelah penyelidikan lebih lanjut, diketahui bahwa Rina telah meninggalkan apartemen tanpa memberitahu siapa pun. Warga percaya bahwa karma akhirnya datang kepada Rina karena ulahnya yang tidak menghormati ketenangan lingkungan.
Pesan Moral: Cerita ini mengingatkan kita bahwa hidup berdampingan membutuhkan rasa hormat kepada orang lain. Keserakahan dan sikap tidak peduli terhadap hak orang lain hanya akan membawa kerugian, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hidup, karma adalah pengingat bahwa apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai.
