Aku tahu, kalian mungkin nggak percaya cerita ini. Aku sendiri, sampai sekarang, masih merasa cerita ini seperti mimpi buruk yang terlalu nyata. Tapi aku bersumpah, semua yang kuceritakan ini benar-benar terjadi.
Ini kisah waktu aku masih kuliah di Semarang, sekitar lima tahun yang lalu. Aku kos di sebuah rumah tua di daerah Jatingaleh. Kosnya murah, dekat kampus, dan meskipun bangunannya agak usang, suasananya lumayan nyaman. Setidaknya, itu yang kupikirkan di awal.
Awal Kisah
Di kos itu, ada tujuh kamar. Lima di lantai atas, dua di bawah. Aku kebagian kamar di atas, dekat tangga. Pemilik kos, Bu Nur, jarang sekali ke sana. Katanya, dia lebih sering tinggal di rumah anaknya di Salatiga.
Dari awal, aku merasa ada yang aneh di kos ini. Bukan apa-apa, tapi suasananya sering terasa… sunyi. Terlalu sunyi untuk ukuran kos mahasiswa. Kadang, aku merasa ada yang memandangku dari lorong, tapi waktu aku menoleh, nggak ada siapa-siapa.
Malam pertama, aku dengar suara langkah kaki di tangga, pelan, tapi terus mendekat ke kamarku. Waktu aku buka pintu, nggak ada siapa-siapa. Aku pikir, mungkin itu suara anak kos lain, walaupun agak aneh karena hampir semua kamar kosong waktu itu—cuma ada aku dan Mas Yudha, penghuni kamar paling ujung.
Pertemuan Pertama
Aku pertama kali mendengar cerita tentang “dia” dari Mas Yudha.
“Kamu tahu nggak, di kos ini dulu ada penghuni yang nggak biasa?” katanya sambil merokok di balkon suatu malam.
“Siapa?” tanyaku, penasaran.
“Namanya Arka. Dia…” Mas Yudha berhenti, seperti ragu melanjutkan. “Dia itu banci. Gay, gitu.”
Aku agak terkejut, tapi nggak terlalu peduli.
“Trus kenapa?” tanyaku santai.
Mas Yudha mengembuskan asap rokok. “Katanya, dia gantung diri di kamar itu.” Dia menunjuk kamar kosong di sebelah kamarku.
Arka dan Tragedinya
Aku mulai mencari tahu tentang Arka dari warga sekitar. Katanya, Arka dulu tinggal di kamar itu selama beberapa tahun. Ia dikenal ceria, sering membantu Bu Nur membersihkan kos, dan sesekali menghibur anak-anak kos yang lain dengan nyanyian atau cerita lucu.
Tapi hidupnya tidak mudah. Keluarganya di Boyolali tidak menerima orientasinya. Ia diusir dari rumah, disuruh berhenti kuliah, dan dibiarkan hidup sendiri di Semarang.
Menurut cerita, Arka gantung diri di kamarnya setelah pertengkaran terakhir dengan ayahnya lewat telepon. Ayahnya bilang ia lebih baik mati daripada membawa aib keluarga.
Malam Mencekam
Suasana kos semakin aneh setelah aku tahu cerita itu. Kadang, aku mendengar suara orang bersenandung di lorong tengah malam. Sesekali, aku mencium wangi parfum yang tajam, seperti parfum pria yang sering dipakai untuk menari di panggung.
Puncaknya terjadi pada malam Jumat. Aku sedang belajar di meja ketika lampu kamarku tiba-tiba mati. Aku bangun untuk mengecek saklar, tapi waktu aku berdiri, aku merasa ada yang berdiri di belakangku.
Ketika aku menoleh, aku melihat sosok pria berambut pendek dengan wajah pucat dan senyum kecil. Bajunya ketat, warnanya merah terang, seperti sedang bersiap untuk pesta. Tapi yang membuatku merinding adalah matanya—kosong, seperti kaca yang memantulkan diriku sendiri.
Sosok itu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatapku, lalu berjalan perlahan menuju pintu.
Akhir yang Mengejutkan
Aku lari ke kamar Mas Yudha, setengah panik. Aku ceritakan semua yang kulihat, tapi Mas Yudha hanya menatapku dengan wajah bingung.
“Kamu nggak sendirian, kok,” katanya pelan. “Aku juga pernah melihat dia. Tapi dia nggak pernah ganggu. Dia cuma… sepi.”
Malam itu, aku nggak bisa tidur. Aku terus memikirkan Arka, tentang hidupnya yang berakhir begitu tragis. Mungkin, dia hanya ingin didengar, hanya ingin seseorang tahu bahwa dia pernah ada.
Esok harinya, aku pindah dari kos itu. Aku tidak berani tinggal lebih lama, meskipun sebenarnya aku tidak merasa Arka ingin mencelakai siapa pun.
Kadang, aku masih berpikir tentang dia. Tentang bagaimana kita sering menghakimi orang lain tanpa pernah mencoba memahami rasa sakit mereka. Aku belajar sesuatu dari pengalaman ini: bahwa setiap jiwa, betapa pun berbeda dari kita, pantas mendapatkan cinta dan penerimaan.