Namaku Anton, dan aku adalah tipe orang yang selalu mencari penjelasan logis dari segala hal. Aku skeptis terhadap cerita-cerita mistis atau legenda yang sering kudengar. Tapi pengalaman yang kualami di Gunung Salak beberapa tahun lalu membuatku bertanya-tanya, apakah ada hal di dunia ini yang tak bisa dijelaskan dengan akal?

Ceritanya bermula ketika aku dan tiga temanku—Rina, Dimas, dan Arman—memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Gunung Salak. Gunung ini terkenal akan keindahannya, tapi juga menyimpan reputasi yang menyeramkan. Banyak orang bilang Gunung Salak penuh misteri, tapi kami tidak peduli. Kami hanya ingin menikmati alam dan melarikan diri sejenak dari hiruk pikuk kota.

Awal Perjalanan

Kami tiba di desa Ciburial, salah satu pintu masuk menuju jalur pendakian Gunung Salak. Penduduk desa menyambut kami dengan ramah, meskipun aku merasa ada sesuatu yang aneh. Salah seorang warga, seorang kakek tua bernama Pak Dul, sempat mengingatkan kami.

“Jaga sikap kalian di gunung ini, terutama di malam hari. Jangan melanggar norma,” katanya.

Aku mengangguk sopan, tapi dalam hati aku menganggapnya hanya basa-basi. Dimas bahkan berbisik, “Ah, ini cuma cerita buat nakut-nakutin pendaki.”

Kami mulai mendaki pada pagi harinya. Jalur pendakian terasa cukup berat, tapi suasananya luar biasa indah. Hutan yang hijau dan suara burung membuat kami lupa akan kelelahan. Kami akhirnya tiba di sebuah area landai yang cocok untuk mendirikan tenda. Matahari mulai tenggelam ketika kami selesai memasang tenda.

Keputusan Ceroboh

Malam itu, kami berkumpul di sekitar api unggun. Suasana hening, hanya suara jangkrik dan hembusan angin yang menemani. Tiba-tiba, Rina mengusulkan sesuatu yang membuat suasana berubah.

“Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih sepi? Aku dengar ada air terjun kecil di dekat sini. Romantis, kan?” katanya sambil melirik Dimas. Aku tahu Rina dan Dimas sedang menjalin hubungan, meskipun mereka selalu berusaha menyembunyikannya dari kami. Arman dan aku menolak ide itu, tapi Dimas, yang sepertinya ingin menyenangkan hati Rina, akhirnya setuju.

“Kalian gila? Ini sudah malam!” tegurku. Tapi mereka tetap pergi.

Suasana Mencekam

Aku dan Arman memutuskan untuk tetap di tenda. Tapi semakin malam, suasana semakin aneh. Hawa dingin terasa menusuk, lebih dingin dari biasanya. Angin mulai bertiup kencang, dan aku mendengar suara yang membuat bulu kudukku meremang: seperti suara perempuan menangis dari kejauhan.

“Dengar itu?” tanyaku pada Arman. Dia hanya mengangguk, wajahnya pucat. Kami memutuskan untuk mencari Rina dan Dimas.

Dengan senter di tangan, kami menyusuri jalur setapak menuju arah yang disebut Rina. Semakin jauh kami melangkah, suara tangisan itu semakin jelas. Tapi tidak ada siapa pun di sekitar kami.

Penampakan

Kami akhirnya menemukan air terjun kecil yang dimaksud Rina, tapi mereka tidak ada di sana. Yang kami temukan hanyalah jejak kaki yang mengarah ke sebuah area terbuka. Di tengah area itu, berdiri sebuah pohon besar yang terlihat seperti sudah berumur ratusan tahun.

Di bawah pohon, kami melihat sosok perempuan berpakaian putih dengan rambut panjang terurai. Wajahnya menunduk, tapi aku bisa merasakan tatapan tajam yang menusuk. Arman memegang lenganku erat, “Kita harus pergi sekarang.”

Tapi sebelum kami sempat melangkah, sosok itu menghilang. Dalam sekejap, suara tangisan berubah menjadi tawa melengking yang memekakkan telinga. Aku merasa kakiku membeku, tak mampu bergerak.

Rina dan Dimas

Kami kembali ke tenda dengan tergesa-gesa, hanya untuk menemukan Rina dan Dimas sudah di sana. Wajah mereka terlihat pucat dan tubuh mereka gemetar.

“Ada apa?” tanyaku panik.

Rina hanya menangis, sementara Dimas mencoba berbicara. “Kami… kami melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kami lakukan,” katanya lirih. Dari cara dia berbicara, aku tahu apa yang dia maksud. Mereka melanggar norma di tempat yang dikeramatkan.

Sebelum aku sempat berkata apa-apa, tiba-tiba tenda kami bergetar hebat, seperti ada yang mengguncangnya dari luar. Kami berempat berpegangan erat, berharap apa pun itu akan pergi. Tapi kemudian, sebuah suara terdengar jelas di telinga kami. Suara itu dingin, penuh amarah, dan datang entah dari mana.

“Kalian telah melanggar batas.”

Konsekuensi

Keesokan paginya, kami segera turun gunung tanpa banyak bicara. Rina terus menangis sepanjang perjalanan, sementara Dimas tidak berhenti meminta maaf. Aku dan Arman hanya bisa terdiam.

Setelah kejadian itu, hidup Rina dan Dimas berubah drastis. Rina jatuh sakit dan meninggal beberapa bulan kemudian, sementara Dimas menghilang tanpa jejak. Arman, yang tadinya tak percaya pada hal-hal mistis, menjadi sangat religius setelah kejadian itu.

Aku? Aku masih mencoba mencari penjelasan. Tapi di dalam hatiku, aku tahu ada hal-hal yang tidak boleh dilanggar, terutama di tempat seperti Gunung Salak. Hutan itu bukan hanya milik kita, tapi juga milik mereka yang tak kasat mata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Testimonials
Subsribe weekly news

Integer posuere erat a ante venenatis dapibus posuere velit aliquet sites ulla vitae elit libero 

Nullam quis risus eget urna mollis ornare vel eu leo. Aenean lacinia bibendum nulla sed 

Nullam quis risus eget urna mollis ornare vel eu leo. Aenean lacinia bibendum nulla sed 

Verified by MonsterInsights