“Di Situgede, Bogor, penampakan pocong menciptakan keresahan di kalangan warga, termasuk di gudang logistik pemilu yang menjadi sorotan. Penyelidikan atas peristiwa ini mengungkap jejak masa lalu penuh dendam, dan keadilan yang datang dengan cara tak terduga.”
Semua bermula dari cerita yang beredar di warung kopi kecil di Dusun Situgede, Bogor. Warga desa berbicara dengan bisik-bisik tentang penampakan pocong di sekitar gudang logistik pemilu 2024. Gudang itu dulunya adalah rumah tua yang terbengkalai, penuh dengan sejarah kelam. Kini, dipenuhi kotak suara dan atribut pemilu, tempat itu menjadi saksi dari sesuatu yang tidak kasat mata.
Pak Rian, petugas keamanan gudang, adalah orang pertama yang mengalaminya. Malam itu, ia berjaga sendirian, duduk di depan layar CCTV sambil menyeruput kopi hitam. Tiba-tiba, salah satu kamera menangkap bayangan putih melompat di halaman belakang. Pak Rian memicingkan mata, mencoba memastikan apa yang dilihatnya.
“Ah, pasti hanya pantulan cahaya,” pikirnya. Tapi saat ia menoleh ke jendela, bayangan itu ada di sana. Wajah pucat, kain kafan kotor, dan bau anyir menyengat memenuhi udara.
Pak Rian berteriak ketakutan dan pingsan.
Berita itu dengan cepat menyebar. Warga setempat menganggap ini pertanda buruk. Bahkan, sebelum penampakan itu, beberapa orang mengaku mendengar suara tangisan di malam hari atau bau busuk yang tidak jelas asalnya. Namun, tidak ada yang berani menyelidiki lebih jauh.
Di desa kecil ini, cerita mistis bukanlah hal baru. Situgede memiliki sejarah panjang tentang konflik tanah, permusuhan antar keluarga, dan tradisi mistik yang masih bertahan. Salah satu cerita yang paling diingat adalah tentang Pak Jaka, seorang petani tua yang meninggal secara tragis beberapa dekade lalu. Ia ditemukan tewas tergantung di pohon besar dekat rumahnya, dengan tubuh terbungkus kain kafan. Desas-desus mengatakan bahwa kematiannya adalah akibat perselisihan dengan tetangganya, tetapi kebenarannya tidak pernah terungkap.
Pak Hasan, seorang tokoh masyarakat, mencoba meredam keresahan warga. Ia mengajak mereka untuk melakukan doa bersama di masjid, berharap ketenangan bisa kembali ke dusun mereka. Namun, pada malam doa bersama, kejadian aneh kembali terjadi. Lampu di masjid tiba-tiba padam, dan salah satu jendela terbuka dengan sendirinya. Sebuah suara lirih terdengar, “Kembalikan hakku…”
Semua orang membeku.
Bu Tini, seorang warga yang terkenal dengan indra keenamnya, meyakini bahwa penampakan pocong ini bukan sekadar halusinasi massal. “Ada yang tidak selesai. Arwah ini meminta sesuatu,” katanya sambil memegang tasbih di tangannya. Ia mengusulkan agar warga mencari tahu lebih banyak tentang sejarah gudang tersebut.
Penyelidikan informal dimulai. Beberapa warga menemukan bahwa gudang itu dulunya milik keluarga Pak Jaka, yang tanahnya diambil alih secara paksa oleh pihak tertentu untuk pembangunan. Pak Jaka tidak pernah menerima kompensasi yang layak, dan kematiannya yang misterius diduga berkaitan dengan konflik ini.
Warga mulai menyusun potongan-potongan cerita, dan semuanya mengarah pada satu kesimpulan: arwah Pak Jaka belum tenang. Ia ingin keadilan.
Pak Hasan menghubungi seorang ustaz dari kota, Ustaz Ridwan, untuk melakukan ritual ruqyah di gudang tersebut. Malam itu, gudang dipenuhi warga yang membawa doa dan harapan. Ustaz Ridwan membaca ayat-ayat suci dengan khusyuk, sementara beberapa warga memegang lilin dan air zamzam.
Saat ruqyah berlangsung, salah satu warga, Pak Dino, tiba-tiba menjerit dan meronta-ronta. Ia mengaku melihat bayangan pocong berdiri di sudut gudang, menunjuk ke arah tumpukan kotak suara. Setelah diperiksa, di bawah tumpukan itu ditemukan kain kafan usang dan sebilah kayu bertuliskan nama “Jaka.”
Temuan ini membuat warga yakin bahwa arwah Pak Jaka memang ingin sesuatu disampaikan. Pak Hasan dan beberapa warga lainnya melaporkan hal ini kepada pihak berwenang, meminta agar kasus kematian Pak Jaka dibuka kembali. Polisi akhirnya setuju untuk menyelidiki ulang, dan ternyata ditemukan bukti baru yang mengarah pada pelaku sebenarnya: seorang pengusaha kaya yang dulunya memanfaatkan kekuasaannya untuk merebut tanah Pak Jaka.
Setelah pengusaha itu ditangkap, penampakan pocong di Situgede berhenti. Gudang kembali tenang, dan warga merasa lega meskipun masih ada rasa takut yang tersisa. Pak Hasan, dengan suara bergetar, berkata di depan warga, “Ini pengingat untuk kita semua bahwa keadilan tidak bisa dibungkam. Dan arwah, mereka hanya ingin yang semestinya menjadi milik mereka.”
Pesan Moral:
Kisah ini mengajarkan bahwa dosa dan kezaliman tidak pernah benar-benar hilang, meskipun tersembunyi di balik waktu. Dalam ketenangan dunia ini, ada kekuatan yang selalu menuntut keadilan. Jangan pernah mengambil hak orang lain, karena kebenaran akan selalu menemukan jalannya untuk terungkap.