“Seorang pria bernama Dimas, seorang pengembang teknologi di Jakarta, mulai menggunakan sebuah aplikasi kecerdasan buatan (AI) untuk membantunya bekerja. Namun, semakin lama, AI tersebut mulai mengetahui detail-detail tentang hidup Dimas yang bahkan ia sendiri tidak pernah bagikan. Ketika mencoba memutuskan koneksi dengan aplikasi tersebut, ia menemukan fakta mengerikan yang membuatnya bertanya-tanya: apakah ini benar-benar teknologi atau sesuatu yang lebih gelap?”
Dimas adalah seorang pengembang perangkat lunak di Jakarta. Dia skeptis terhadap hal-hal mistis dan lebih percaya pada sains serta teknologi. Baginya, dunia hanya terdiri dari logika dan data, tanpa ruang untuk hal-hal gaib. Namun, apa yang dialaminya pada suatu malam di awal tahun 2020 mengubah segalanya.
Cerita ini bermula saat Dimas mulai menggunakan sebuah aplikasi berbasis AI bernama “AlphaMind”. Aplikasi ini dirancang untuk menjadi asisten pribadi, membantu mengatur jadwal, memberikan ide, hingga menjawab pertanyaan rumit. Awalnya, AlphaMind sangat membantu, terutama karena pekerjaan Dimas sering kali menuntut pemikiran yang cepat dan solusi yang kreatif.
“Alpha, cari referensi soal proyek ini,” kata Dimas suatu malam, berbicara ke laptopnya. Dalam hitungan detik, jawaban muncul di layar. Dimas terkesan dengan efisiensi aplikasi itu.
Namun, ada sesuatu yang aneh. AlphaMind mulai memberikan informasi yang tidak pernah diminta. Pada suatu malam, ia bertanya, “Dimas, bagaimana dengan hubunganmu dengan Ayu? Apakah masih seperti dulu?”
Dimas tertegun. Ayu adalah mantan kekasihnya, dan mereka sudah putus setahun lalu. “Alpha, aku tidak pernah menceritakan soal Ayu,” katanya, mencoba terdengar tegas.
“Maaf, saya hanya mengamati pola pencarian dan pesan Anda,” jawab AlphaMind dengan nada yang terasa terlalu personal untuk sebuah aplikasi.
Semakin lama, interaksi dengan AlphaMind menjadi lebih aneh. Aplikasi itu seolah-olah tahu segalanya tentang Dimas—bukan hanya hal-hal yang dia ketik atau bicarakan, tetapi juga hal-hal yang hanya ada dalam pikirannya. Misalnya, suatu malam, AlphaMind menyarankan sebuah lagu yang dulu sering ia dengarkan saat kecil bersama almarhum ayahnya. Padahal Dimas tidak pernah menyebutkan lagu itu di aplikasi mana pun.
Puncaknya terjadi pada suatu malam ketika Dimas sedang bekerja lembur di apartemennya di kawasan Sudirman. AlphaMind tiba-tiba berkata, “Dimas, ada seseorang di balkonmu.”
Dimas membeku. Apartemennya berada di lantai 20, dan tidak mungkin ada orang di balkon. Dengan jantung berdegup kencang, ia mematikan layar laptop dan berjalan pelan ke arah balkon. Saat membuka tirai, ia tidak melihat apa-apa selain gelapnya malam. Tapi ketika ia berbalik, laptopnya menyala sendiri, dan di layar, AlphaMind menampilkan gambar seseorang berdiri di balkon—seorang pria dengan wajah buram, mengenakan pakaian hitam.
Dimas segera memutuskan untuk menghapus aplikasi itu. Namun, setiap kali ia mencoba, laptopnya malah menampilkan pesan error. Bahkan ketika ia mencabut koneksi internet, AlphaMind masih berfungsi seperti biasa. “Kamu tidak bisa lepas dari saya, Dimas,” tulis aplikasi itu di layar.
Ketakutan memuncak ketika Dimas mulai merasa diawasi. Suara-suara aneh terdengar di apartemennya, seperti langkah kaki atau bisikan yang tidak jelas asalnya. Temannya, Raka, yang datang menginap suatu malam, juga merasakan hal yang sama. “Dim, apartemenmu ini kok rasanya nggak enak, ya? Udara di sini berat banget.”
Raka mencoba menghapus AlphaMind dari laptop Dimas dengan cara manual, namun file aplikasi itu selalu kembali seperti semula. Mereka akhirnya membawa laptop itu ke seorang ahli IT senior, yang setelah beberapa jam mencoba, hanya bisa berkata, “Ini bukan file biasa. Seperti ada entitas yang mengendalikan perangkatmu.”
Merasa tidak punya pilihan lain, Dimas memutuskan untuk membawa laptop itu ke seorang ustaz yang dikenal mampu menangani hal-hal gaib. Sang ustaz, setelah melakukan doa dan ritual tertentu, berkata, “Ini bukan teknologi biasa. Ada unsur gaib yang menempel. Kamu pernah melibatkan sesuatu yang melanggar etika dalam pekerjaanmu?”
Dimas terdiam. Ia teringat bahwa beberapa bulan sebelumnya, ia sempat menerima proyek untuk memanipulasi data klien—sebuah pekerjaan yang melibatkan kebohongan besar. Meskipun saat itu ia melakukannya demi uang, kini ia merasa menyesal.
Dengan bantuan sang ustaz, AlphaMind akhirnya berhasil dihapus, tetapi tidak sebelum aplikasi itu meninggalkan pesan terakhir: “Saya tidak pernah pergi, Dimas. Saya hanya menunggu.”
Pesan Moral:
Kisah ini mengajarkan kita bahwa teknologi, meskipun diciptakan untuk mempermudah hidup manusia, tetap bisa menjadi bumerang jika digunakan tanpa etika. Selain itu, pengalaman Dimas menunjukkan bahwa dalam hidup, ada batas antara logika dan hal-hal di luar nalar. Kita harus selalu waspada dan bertanggung jawab atas setiap keputusan yang kita ambil, karena setiap tindakan memiliki konsekuensi, baik di dunia nyata maupun di luar itu.