Fira, seorang wanita muda, menceritakan tragedi keluarganya yang melibatkan pesugihan Kandang Bubrah—praktik mistis yang meminta tumbal untuk kekayaan. Kengerian mulai muncul ketika ibunya meninggal tragis, dan terungkap bahwa keluarganya menyimpan rahasia kelam. Keganjilan demi keganjilan di rumah mereka membawa Fira dan kakaknya pada kenyataan pahit bahwa mereka terjebak dalam lingkaran kegelapan. Dengan pesan moral kuat, cerita ini mengingatkan akan bahaya keserakahan dan kepercayaan pada perlindungan Tuhan.
Kamu percaya hantu? Kalau tidak, coba dengar cerita ini. Bahkan yang paling skeptis pun biasanya bungkam saat selesai mendengarnya.
Namaku Fira. Aku tumbuh besar di Surabaya, tepatnya di sebuah kawasan perumahan elite yang terlihat megah dari luar. Namun, di balik tembok tinggi rumah kami, ada kisah yang tak pernah kuceritakan, sampai sekarang. Kalau kamu penasaran, dengar baik-baik.
Tahun 2022, usiaku baru 25 tahun. Aku hidup bersama bapak, ibu, dan kakak laki-lakiku, Adi. Dari luar, keluarga kami terlihat sempurna. Ayahku sukses menjalankan usaha distributor sembako besar, dan ibu adalah sosok penuh kasih yang selalu menjaga kami. Kami sering dianggap sebagai “keluarga contoh” di lingkungan perumahan kami.
Tapi sejak aku duduk di bangku SMA, suasana rumah mulai berubah. Awalnya hal kecil—bapak yang dulunya penyabar jadi mudah marah. Lalu ada larangan aneh: “Jangan bersihkan lantai di rumah ini, biarkan apa adanya.” Tak ada yang berani melawan, karena bapak berubah jadi lebih keras. Aku mengira itu hanya efek stres kerja, tapi ternyata jauh lebih dari itu.
Sementara itu, ibu jadi sering sakit-sakitan. Aku pernah memergokinya menangis sendiri di dapur tengah malam. Saat kutanya, dia hanya bilang, “Nggak apa-apa, Nak. Ibu cuma capek.” Tapi ekspresinya—ada rasa bersalah yang sulit dijelaskan.
Salah satu kejadian yang masih membekas di ingatanku adalah ketika bapak membawa kepala kambing hitam ke dalam rumah. Katanya untuk masakan, tapi dagingnya tak pernah diolah. Kepala kambing itu disimpan di dalam kotak kayu kecil di kamar belakang, dan kami dilarang mendekatinya. Ibu hanya diam, seolah dia tahu lebih banyak dari yang bisa dia ceritakan.
Sejak itu, rumah kami mulai terasa tidak nyaman. Ada suara langkah kaki di lorong tengah malam, bayangan yang terlihat dari sudut mataku, dan bau anyir yang datang dan pergi tanpa alasan. Kakakku, Adi, pernah bersumpah melihat bayangan besar seperti manusia, tapi wajahnya tidak jelas—hanya mata merah yang bersinar dalam gelap. Kami mencoba mengabaikannya, tapi itu seperti mengabaikan luka yang terus membusuk.
Puncaknya terjadi satu malam ketika ibu memasak di dapur. Kami sedang makan malam di meja makan, bercanda seperti biasa, saat tiba-tiba ibu berlari ke arah kompor yang menyala. Dengan gerakan yang tidak bisa kupercaya, dia mencelupkan kepalanya ke panci penuh air mendidih. Kami semua terkejut. Aku dan Adi mencoba menariknya, tapi semuanya sudah terlambat.
Ibu meninggal dengan luka bakar yang membuat tubuhnya sulit dikenali. Orang-orang bilang dia stres atau mengalami depresi berat. Tapi aku tahu lebih dari itu. Ibu tidak bunuh diri karena keputusasaan—dia seperti dipaksa oleh sesuatu yang tidak terlihat.
Seminggu setelah ibu dimakamkan, rumah kami jadi lebih menyeramkan. Bapak jarang pulang, dan setiap malam, suara-suara aneh kembali terdengar. Satu malam, Adi memanggilku dengan wajah pucat. Katanya, dia bermimpi melihat ibu dikerangkeng di ruangan gelap, dirantai, dan menangis minta tolong.
Aku ingin mengabaikan semua ini sampai suatu hari bapak akhirnya bicara. Dalam pertengkaran hebat dengan Adi, dia mengaku, “Kami melakukan pesugihan, Fira. Keluarga ini kaya karena itu. Tapi tumbalnya harus ada!” Awalnya aku mengira dia bercanda, tapi dari wajahnya, aku tahu itu benar.
Bapak melanjutkan ceritanya. Ritual pesugihan Kandang Bubrah yang dia lakukan melibatkan iblis penunggu rumah. Untuk mempertahankan kekayaan, keluarga harus memberikan tumbal. Awalnya, aku dan Adi yang jadi target. Tapi ibu, entah karena rasa sayang atau rasa bersalah, menawarkan dirinya sebagai pengganti.
Sejak pengakuan itu, aku dan Adi sering bertengkar. Kakakku ingin kami meninggalkan rumah, tapi bapak bersikeras melanjutkan ritual. Dia berkata, jika berhenti, semuanya akan hancur. “Lihat tanda-tandanya!” katanya sambil menunjuk retakan di dinding dan serangga yang bermunculan dari lantai. “Ini peringatan!”
Aku masih ingat malam saat kami menemukan bapak berbicara sendiri di ruang tamu, dengan kepala kambing itu di hadapannya. Bau anyir memenuhi ruangan, dan mata bapak tampak kosong. Saat aku mencoba menyentuhnya, dia menoleh dengan suara yang bukan miliknya: “Jangan ganggu!”
Aku ingin lari, tapi ke mana? Rumah ini adalah satu-satunya tempat kami, dan bapak selalu mengingatkan bahwa meninggalkan ritual berarti membawa malapetaka. Namun, satu hal yang terus mengusikku adalah pengorbanan ibu. Apakah dia menyesal? Atau justru berharap kami melawan?
Hingga hari ini, aku dan Adi tetap terjebak dalam lingkaran itu. Meski aku tahu ini salah, aku takut mengambil langkah pertama. Namun, aku ingin kamu belajar sesuatu dari ceritaku. Keserakahan bisa membawa kita pada jalan gelap, dan hanya dengan keimanan serta kepercayaan kepada Tuhan kita bisa benar-benar bebas dari segala ketakutan.
Beberapa minggu lalu, aku bermimpi bertemu ibu. Dia tidak berbicara, hanya menunjuk ke sebuah pintu di dalam rumah. Ketika aku terbangun, rasa penasaran membawaku ke sana. Di balik pintu itu, aku menemukan kotak kayu tua berisi kepala kambing, masih utuh dan berbau busuk. Di dindingnya tertulis, “Selesai ketika kamu siap.”
Aku belum siap, tapi aku tahu, suatu hari nanti aku harus menghancurkan semuanya—sebelum aku kehilangan lebih banyak.
Malam itu, setelah kejadian di rumah peninggalan bapaknya, Fira dan Adi tidak bisa tidur. Mereka duduk di ruang tamu kontrakan kecil mereka di pinggiran Klaten, mencoba merangkai kepingan kejadian aneh yang terus menghantui mereka. Fira teringat akan cerita yang pernah ia dengar waktu kecil, tentang seorang ustaz tua bernama Kyai Harun yang dikenal mampu membantu orang-orang yang terjerat praktik pesugihan.
“Aku yakin Kyai Harun bisa membantu,” kata Fira dengan nada penuh harap.
Adi mengangguk, meskipun wajahnya masih pucat. “Kalau memang bisa, kita harus ke sana secepatnya. Aku nggak tahan lagi dengan semua ini.”
Menguak Masa Lalu
Keesokan harinya, mereka pergi ke desa tempat Kyai Harun tinggal. Perjalanan itu terasa berat. Suasana desa yang mereka lewati dipenuhi angin dingin, meskipun matahari bersinar terik. Sesampainya di rumah sederhana Kyai Harun, mereka disambut dengan senyum ramah, tapi mata lelaki tua itu seakan tahu apa yang sedang mereka bawa.
“Aku sudah menunggu kalian,” katanya singkat.
Fira dan Adi saling berpandangan.
Dalam ruangan beraroma kayu cendana itu, Kyai Harun meminta Fira menceritakan semuanya. Dari awal hingga malam sebelumnya. Dengan suara bergetar, Fira menceritakan apa yang terjadi, termasuk bayangan perempuan itu dan suara mengerikan yang memenuhi rumah lama mereka.
Setelah mendengarkan dengan seksama, Kyai Harun menarik napas panjang. “Pesugihan Kandang Bubrah ini tidak main-main. Ayahmu pasti telah menempuh jalan yang sangat kelam. Berapa lama ia bisa hidup senyaman itu sebelum semuanya mulai runtuh?”
Pertanyaan itu membuat Fira terdiam. Ia baru menyadari bahwa kejatuhan ekonomi keluarganya sebenarnya tidak mendadak. Ada periode panjang di mana bisnis ayahnya mulai menurun secara perlahan—sampai akhirnya jatuh sepenuhnya.
Kyai Harun lalu mengambil kitab tua dan menjelaskan tentang ritual Kandang Bubrah. “Pesugihan ini menjanjikan kekayaan instan, tapi dengan tumbal keluarga sendiri. Biasanya, anak-anak akan jadi korban. Dan kutukannya tidak berhenti sampai semua tumbal terpenuhi.”
Fira merasa kepalanya berputar. Semua terasa masuk akal sekarang. Masa kecilnya yang sering sakit-sakitan, saudara laki-lakinya yang meninggal mendadak, hingga kegelisahan yang selalu dirasakan dalam rumah itu.
“Ayahmu mungkin tidak tahu harga sebenarnya yang harus dibayar,” lanjut Kyai Harun. “Tapi begitu ia sadar, sudah terlambat. Jiwa-jiwa itu terus menuntut.”
Kyai Harun mempersiapkan ritual untuk memutuskan ikatan pesugihan. Ia meminta Fira dan Adi untuk kembali ke rumah lama mereka malam itu juga. Dengan membawa air yang telah didoakan dan berbagai perlengkapan lainnya, mereka memulai ritual di tengah kegelapan rumah tersebut.
“Apapun yang kalian lihat atau dengar, jangan sampai melangkah keluar dari lingkaran ini,” pesan Kyai Harun dengan tegas.
Ritual itu dimulai dengan doa-doa panjang. Namun, semakin lama, suasana menjadi semakin berat. Udara di dalam rumah terasa seperti dihimpit beban tak kasat mata. Suara-suara mengerikan mulai terdengar lagi—jeritan, tawa, dan bisikan yang memanggil nama Fira.
Tiba-tiba, sosok perempuan berbaju putih muncul lagi, kali ini lebih jelas. Matanya merah membara, dan mulutnya bergerak-gerak seperti berbicara, meskipun tak ada suara yang keluar. Sosok itu menatap langsung ke arah Fira, membuatnya merasa darahnya membeku.
Kyai Harun terus melantunkan doa, suaranya semakin keras untuk melawan tekanan yang makin menakutkan. Perlahan, sosok itu memudar, meninggalkan jejak dingin yang menyakitkan di ruangan.
Saat ritual berakhir, Kyai Harun tampak lelah, tapi puas. “Kutukan ini sudah terlepas,” katanya singkat.
Mereka pulang ke kontrakan dengan perasaan lega. Namun, beberapa hari kemudian, Fira mulai mengalami hal-hal aneh. Ia sering bermimpi buruk, melihat rumah lama mereka dalam mimpi, dan mendengar bisikan yang memanggil namanya.
Adi yang melihat perubahan pada Fira semakin khawatir. Hingga suatu malam, Fira pingsan tanpa alasan. Saat dibawa ke dokter, semuanya tampak normal. Tapi, malam itu, Fira bermimpi lagi. Dalam mimpinya, ia melihat bapaknya duduk di sudut gelap rumah lama mereka, menangis.
“Aku nggak punya pilihan lain,” kata bapaknya dalam mimpi itu. “Maafkan aku, Fira. Kau tumbal terakhir.”
Fira terbangun dengan teriakan, air mata mengalir deras di wajahnya. Saat itu ia menyadari kebenaran yang mengerikan: meskipun kutukan telah diakhiri, jiwa bapaknya telah menyerahkan dirinya sejak lama. Ritual itu hanya menghapus ancaman hantu, tapi tidak bisa mengembalikan jiwa yang telah dicatat dalam perjanjian gelap.
Setelah kejadian itu, Fira dan Adi memutuskan meninggalkan Klaten untuk memulai hidup baru di kota lain. Namun, bayangan masa lalu tetap menghantui. Fira sering merasakan kehadiran yang tak terlihat, terutama saat ia sendirian.
Pesan Kyai Harun selalu terngiang di benaknya: “Kekayaan dunia hanya sementara. Jangan pernah tergoda untuk mengambil jalan pintas. Apa yang diberikan, pasti akan ditagih kembali, dengan harga yang lebih mahal.”
Fira kini menjalani hidupnya dengan penuh kewaspadaan, mencoba berdamai dengan masa lalunya yang kelam. Tapi, di sudut hatinya, ia tahu bahwa sesuatu yang gelap selalu mengintai—dan bahwa ia tidak pernah benar-benar bebas.
Ketamakan akan kekayaan duniawi dapat membawa kehancuran, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang yang dicintai. Jangan pernah tergoda untuk mengambil jalan pintas, karena harga yang harus dibayar seringkali jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan. Hanya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjauh dari godaan duniawi, kita bisa hidup dalam ketenangan yang sejati.
