Puluhan warga Desa Botosengon, Demak, diteror oleh suara tangisan di malam hari yang seolah berasal dari seorang perempuan. Setelah diselidiki, suara itu ternyata terkait dengan kasus pembunuhan seorang ibu yang belum terungkap. Penyelidikan mengungkap fakta mengerikan tentang dendam, keserakahan, dan keadilan yang belum tuntas.
Semua dimulai dari suara. Tangisan lirih seorang perempuan yang terdengar jelas di tengah malam. Bagi warga Desa Botosengon, Demak, itu bukan hal yang biasa. Desa ini tenang, jauh dari keramaian kota, dan hanya diterangi lampu-lampu redup yang menggantung di sepanjang jalan kecilnya. Namun, beberapa minggu terakhir, suasana berubah mencekam.
Rini, salah seorang warga, adalah orang pertama yang mendengar suara itu. Malam itu, ia sedang menggendong bayinya yang rewel, mencoba menenangkannya di beranda rumah. Di tengah sepinya malam, ia mendengar suara isak tangis, seperti seorang perempuan yang sedang berduka. Rini mengira itu hanya halusinasi karena kelelahan, tetapi suaranya semakin jelas.
“Duh Gusti, siapa yang menangis malam-malam begini?” pikirnya.
Penasaran, ia mengintip ke jalanan dari balik pagar rumah. Namun, tidak ada siapa-siapa. Hanya suara itu yang terus berlanjut. Ketika ia mencoba mengabaikan, bayinya justru menangis lebih keras, seolah-olah ikut merasakan kegelisahan ibunya.
Dalam beberapa hari, suara itu menjadi perbincangan warga. Tangisan itu muncul di berbagai tempat: dekat kuburan desa, di belakang masjid, bahkan di sekitar rumah warga tertentu. Pak RT, yang skeptis soal hal-hal gaib, mencoba menyelidiki. Bersama beberapa warga laki-laki, mereka berpatroli malam-malam. Namun, setiap kali mereka mencari sumber suara, hasilnya nihil. Tidak ada siapa-siapa.
“Mungkin hanya angin atau hewan malam,” kata Pak RT, mencoba menenangkan warganya. Tapi wajahnya sendiri tampak tidak yakin.
Suasana semakin mencekam ketika seorang warga, Bu Sri, bermimpi didatangi sosok perempuan berambut panjang. Dalam mimpinya, perempuan itu menangis sambil berkata, “Aku tidak tenang. Tolong kembalikan hakku.” Bu Sri, yang dikenal religius, merasa mimpinya bukan sekadar bunga tidur.
Rasa takut bercampur penasaran membuat warga mulai mengaitkan kejadian ini dengan kasus pembunuhan yang baru saja terjadi di desa mereka. Beberapa bulan sebelumnya, seorang ibu bernama Bu Hajah Rukmini ditemukan tewas di rumahnya sendiri, terbungkus karpet yang terikat. Mayatnya telah membusuk selama tiga hari sebelum ditemukan. Kabarnya, sebelum meninggal, Bu Rukmini baru saja menerima uang hasil penjualan tanah. Namun, siapa yang membunuhnya masih menjadi misteri. Polisi sudah turun tangan, tetapi hingga kini belum ada tersangka.
Tangisan itu membuat warga menduga-duga, apakah ini arwah Bu Rukmini yang meminta keadilan? Beberapa warga bahkan melapor ke polisi, berharap kejadian ini bisa mempercepat pengungkapan kasus pembunuhan tersebut.
Di tengah kegelisahan, seorang ustaz setempat, Ustaz Mahmudi, mengajak warga untuk melakukan doa bersama. “Apapun yang terjadi, kita serahkan kepada Allah. Jangan takut, tapi juga jangan abaikan firasat yang diberikan kepada kita,” katanya di depan jamaah.
Malam itu, warga berkumpul di masjid untuk membaca yasin dan doa bersama. Suasana haru menyelimuti masjid, terutama saat Ustaz Mahmudi mendoakan Bu Rukmini. Namun, setelah selesai, kejadian aneh terjadi. Seorang warga, Pak Jono, tiba-tiba pingsan di depan masjid. Ketika sadar, ia mengaku melihat bayangan perempuan yang menunjuk ke arah rumah seseorang.
Rumah itu milik Pak Dirman, seorang pedagang yang dikenal sering bermasalah dengan Bu Rukmini. Mereka pernah berselisih soal batas tanah. Warga mulai curiga. Apalagi, Pak Dirman dikenal jarang keluar rumah sejak tangisan itu mulai terdengar.
Polisi yang mendapat laporan akhirnya memeriksa rumah Pak Dirman. Di sana, mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebagian uang tunai yang diduga berasal dari hasil penjualan tanah Bu Rukmini. Setelah diinterogasi, Pak Dirman mengaku membunuh Bu Rukmini karena kesal merasa ditipu dalam transaksi tanah. Ia membungkus tubuh Bu Rukmini dengan karpet dan meninggalkannya di rumahnya sendiri untuk menghilangkan jejak.
Setelah Pak Dirman ditangkap, tangisan itu berhenti. Warga merasa lega, meskipun bayangan peristiwa itu masih menghantui mereka. Ustaz Mahmudi mengingatkan, “Ini pelajaran bagi kita semua. Jangan biarkan keserakahan menguasai hati kita. Dan yang terpenting, jangan lupakan bahwa keadilan Allah selalu ada, meski kadang datang dengan cara yang tidak kita duga.”
Pesan Moral:
Kisah ini mengajarkan bahwa keserakahan dan ketidakjujuran hanya membawa kehancuran. Dalam dunia yang tampak teratur, selalu ada kekuatan yang melampaui nalar manusia. Keadilan, meskipun sering kali tertunda, pasti akan tiba pada waktunya. Bagi mereka yang percaya, tangisan Bu Rukmini adalah bukti bahwa dosa tidak pernah benar-benar bisa disembunyikan.
